Pengantar
Seperti tulisan saya sebelumnya, tulisan ini juga ditujukan untuk membuka ruang diskusi, termasuk diskusi dalam pribadi saya sendiri. Saya mengawalinya dengan pembahasan mengenai apologetik. Apologetik adalah usaha untuk membela iman dengan menggunakan informasi tertentu. Sebenarnya sah-sah saja melakukan apologetik, bahkan dianjurkan untuk melawan ejekan-ejekan yang dilakukan oleh oknum jahat untuk mendeskritkan agama tertentu. Apologetik jauh lebih baik daripada membalas fitnah dengan fitnah juga. Permasalahan baru muncul ketika apologetik dilakukan dengan ceroboh tanpa memeriksa informasi lebih jauh bahan yang digunakan sebagai apologetik.
Jika anda sering mengikuti kajian-kajian Islam, baik di dunia maya, koran, majalah, seminar, training motivasi ataupun majelis taklim secara langsung, anda pasti pernah mendengar teori relativitas yang dikaitkan dengan Isra Mi’raj, bigbang dengan surat Al-Anbiya ayat ke-30 dan lain sebagainya. Usaha untuk membuat penafsiran Qur’an dengan mengutip teori ilmiah merupakan salah satu apologetik yang kini sedang populer. Ada beberapa tokoh yang terkenal karena membuat karya-karya “pembuktian secara sains ayat dalam Al Qur’an”, saya ambil dua tokoh yang sering dikutip dalam kajian Islam yaitu Michael Bucaille dan Adnan Oktar aka Harun Yahya. Keduanya telah menerbitkan banyak karya terkait apologetik terhadap Islam.

Foto Adnan Oktar
Permasalahan
Permasalahan sendiri muncul justru karena kecerobohan sebagian umat Islam sendiri dalam memainkan propaganda keilmiahan Al Qur’an. Ceroboh karena tergesa-gesa dalam mengutip suatu teori ilmiah dan menjadikannya dasar justifikasi bahwa suatu ayat Qur’an itu benar. Kadang diperparah dengan sifat fanatik buta sampai lupa bahwa teori ilmiah yang dikutipnya bisa jadi salah. Kajian lebih dalam harusnya dilakukan oleh cendekiawan Muslim. Bukan hanya “quote mining” atau kutip sana-sini seperti yang dilakukan oleh Adnan Oktar, tapi juga melakukan penelitian ilmiah yang sesungguhnya. Bukankah aneh jika mengutip teori Einstein untuk pembenaran ayat Al Qur’an padahal Einstein sendiri tidak beragama Islam?
Sekarang mari kita bahas beberapa apologetik “ilmiah” yang sering muncul dalam kajian.
1. Peristiwa Isra’ Mi’raj dan Teori Relativitas
Teori relativitas sering menjadi bahan kutipan untuk “menafsirkan” ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan hal ghaib, perbedaan waktu dan perpindahan tempat. Demikian juga untuk menafsirkan peristiwa Isra Mi’raj yang dilakukan oleh Muhammad SAW, apakah Rasul benar-benar melakukan perjalanan secara fisik atau hanya ruh beliau saja yang melakukan perjalanan? Dalam Al Qur’an surat Al-Isra’ ayat ke-1, Allah SWT berfirman:
“Maha suci Allah yang menjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Majidil Aqsha yang Kami berkahi sekelilingnya agar Kami memperlihatkan kepadanya sebahagian tanda-tanda (kebesaran) Kami.
Ayat tersebut dan ayat-ayat lain yang terkait tidak menginformasikan dengan detail mengenai bagaimana metode perjalanan yang dilakukan Muhammad sehingga membuka ruang perbedaan penafsiran. Penjelasan lainnya bisa ditemui di Hadis namun juga tidak memberikan info mendetail mengenai metode perjalanan yang dilakukan oleh Muhammad SAW. Akhirnya, secara garis besar umat Islam terbagi menjadi dua pemahaman, Isra Miraj sebagai fenomena fisik dan satunya lagi adalah sebagai fenomena ghaib.
Pemahaman Isra Miraj sebagai fenomena fisik inilah yang sering dikait-kaitkan dengan teori relativitas. Teori relativitas seringkali dijadikan “bukti” bahwa Muhammad SAW melakukan perjalanan secara fisik dengan bantuan Buroq yang berkecepatan cahaya. Muhammad digambarkan berubah menjadi energi selama perjalanan menuju lapis-lapis langit, yang tampaknya relevan dengan rumus terkenal dari Einstein, E=m*c^2.
Ada yang janggal dalam pemahaman ini. Teori ilmiah apapun, termasuk teori relativitas digunakan untuk menjelaskan fenomena. Dari yang kita tangkap dalam kajian-kajian mengenai Isra Miraj, teori ini malah dijadikan bukti penguat, padahal ini terbalik. Fenomena merupakan hal yang harus dijelaskan oleh teori sekaligus fenomena tersebut menjadi bukti keabsahan suatu teori. Peristiwa apel jatuh merupakan bukti adanya gravitasi, dengan demikian teori gravitasi “benar”. Sekarang pakai logika yang sama, dan ganti klausa “apel” jatuh dan frasa “teori gravitasi” dengan Isra Miraj dan teori relativitas. Isra Miraj merupakan bukti adanya relativitas ruang dan waktu, dengan demikian teori relativitas benar. Apakah anda merasakan kejanggalannya?
Jadi, teori relativitas bukan bukti “kebenaran” peristiwa Isra Miraj, namun teori relativitas membuka kemungkinan bahwa perjalanan tersebut memang bisa terjadi secara fisik. Hal ini perlu ditekankan mengingat seperti yang saya jelaskan sebelumnya, banyak rekan seiman saya yang ceroboh menganggap bahwa teori relativitas adalah bukti, padahal teori itu hanya bisa dipakai untuk menjelaskan kemungkinan-kemungkinan metode perjalanan yang digunakan. Belum lagi soal, apakah Muhammad menempuh perjalanan sesuai teori relativitas, atau ada cara lain yang belum diketahui sains saat ini? Bagaimana membuktikannya? Dan bagaimana jika perkembangan ilmu pengetahuan membuktikkan bahwa teori relativitas itu salah? Apakah itu juga berarti peristiwa Isra Miraj itu tidak ada? Mohon direnungkan baik-baik.
2. Big bang dan Penciptaan Alam Semesta
Peristiwa big bang banyak dikaitkan dengan surat Al-Anbiya ayat ke-30. Kecerobohan yang sering terjadi adalah mirip dengan kecerobohan penggunaan teori relativitas. Sifat malas membaca, berdiskusi dan mengkaji akhirnya menggiring pemahaman yang keliru bahwa big bang adalah ledakan besar yang terjadi dahulu kala. Ilmuwan sendiri mengemukakan bahwa teori big bang adalah teori yang menjelaskan pengembangan alam semesta dari “awal” hingga kini.

Ilustrasi Big Bang
Apalagi dalam surat Al Anbiya ayat ke-30, terminologi yang digunakan adalah langit dan bumi. Istilah langit dan bumi sangat rancu untuk diselaraskan dengan pengertian teori big bang mengingat langit mana yang dimaksud dan bumi mana yang dimaksud tidak cukup jelas.
Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tidak juga beriman?
Penafsiran mengenai ayat ini boleh saja dilihat dengan kacamata big bang, namun sekali lagi teori big bang bukan bukti kebenaran ayat tersebut. Teori big bang hanya memberi tambahan alternatif penafsiran terhadap ayat ini.
Reply